Menyusuri Jalan Braga di Kota Bandung, Jawa Barat, serupa dengan perjalanan ziarah ke zaman kejayaan pemerintah kolonial Belanda tempo dulu. Dihiasi bangunan-bangunan kuno berarsitektur art deco, jalan yang namanya sama dengan sebuah kota di utara Portugal itu merupakan daerah konservasi budaya. Di masa lalu, Jalan Braga merupakan pusat perniagaan modern yang hanya menjajakan barang-barang berkelas pada zamannya. Semula, jalan ini bernama Jalan Pedati dengan lebar sekitar 10 meter.
Konon, pembuatan jalan ini terkait dengan pembangunan Jalan Anyer - Panarukan oleh Daendels pada tahun 1808-1811 dan Politik Tanam Paksa tahun 1830-1870. Jalan ini menghubungkan Jalan Raya Pos dengan gudang kopi milik Andries de Wilde yang sekarang menjadi Balaikota Bandung.
Pada tahun 1856, saat Bandung menjadi ibu kota Karesidenan Priangan, beberapa hunian warga Eropa dibangun di sepanjang jalan yang masih terbuat dari tanah tersebut. Sementara itu, perumahan lainnya masih beratapkan ijuk, rumbia, atau ilalang. Hingga tahun 1874, hanya terdapat enam hingga tujuh rumah dari batu di Jalan Braga.
Tahun 1882 seiring dengan pendirian Tonil Braga, jalan diperkeras dengan batu kali dan digunakannya lampu minyak sebagai penerang jalan. Ketika jalur kereta api Batavia-Bandung dibangun pada tahun 1884, ujung Jalan Braga yang terletak dekat pusat kota telah berkembang pesat, sedangkan bagian utaranya masih berupa hutan karet.
Perkembangan jalan ini dipicu oleh toko kelontong De Vries. Toko yang menjual kebutuhan sehari-hari ini banyak dikunjungi petani Priangan keturunan Belanda yang kaya raya (Priangan planters). Keramaian De Vries membuat kawasan di sekitarnya ikut berkembang sehingga berdiri hotel, restoran, bioskop, dan bank. Akhirnya, Jalan Braga berkembang menjadi daerah pertokoan terkemuka di seluruh Hindia Belanda.
Tahun 1900, penggal Jalan Gereja dan Jalan Braga mulai diaspal. Jalan Braga pun menjadi daerah dengan pembangunan yang pesat. Karena itu, pada tahun 1906 dibuat peraturan tentang standar bangunan toko di Jalan Braga, seperti tipe bangunan gaya barat yang semula terbuka diubah menjadi bangunan perdagangan tertutup. Bentuknya bervariasi, mulai dari langgam klasik hingga arsitektur modern.
Modernisasi Jalan Braga dilakukan tahun 1920-1930 dan menjadikannya sebagai pertokoan eksklusif. Seiring dengan terjadinya Perang Dunia II tahun 1942, pamor Jalan Braga mengalami kemerosotan.
Menjelang Konferensi Asia Afrika tahun 1955, bangunan-bangunan di Jalan Braga dipercantik. Kemeriahan Jalan Braga pun hidup kembali.
Namun, citra Jalan Braga surut kembali sekitar tahun 1960, bersamaan dengan pembangunan kembali sebuah toko dengan bentuk yang berbeda. Akibatnya, wajah Jalan Braga mulai berubah secara perlahan. Reklame mulai bermunculan menutupi bangunan-bangunan yang ada.
Kerusakan bertambah parah ketika kesepakatan untuk tidak membangun gedung-gedung lebih dari dua lantai dilanggar. Dengan alasan pembangunan, gedung-gedung lama dibongkar dan dibangun tanpa ada aturan. Kondisi Braga pun makin semrawut.
Saat ini hanya sekitar 50 persen bangunan yang masih menjaga bentuk aslinya dengan gaya arsitektur art deco yang berjaya di awal abad ke-20. Sisanya, telah berubah menjadi bangunan modern dan bangunan tak terawat.
Denyut perniagaan di Jalan Braga sebenarnya masih terasa dengan berdirinya sejumlah toko dan gedung perkantoran.
KINI, Jalan Braga yang kesohor itu tinggal kenangan. Dari sekitar 78 toko yang ada, tinggal 60 persen yang masih beroperasi dan sisanya terabaikan. Menurut penasihat (advisor) proyek Braga City Walk (BCW), Harry S Soedarsono, dari 60 persen itu, 70 persen berupa bisnis ritel dan 30 persen nonritel, seperti percetakan dan bengkel. Padahal, sejak dulu daerah Braga diperuntukkan hanya untuk bisnis ritel.
Agar kawasan Braga dapat kembali berdetak, sebuah pengembang swasta menjalankan proyek BCW. Dalam proyek itu, Jalan Braga akan dikembalikan pada kejayaannya sebagai pusat kegiatan perniagaan masyarakat Bandung.
Menurut pihak pengembang PT Bangun Mitra Mandiri (BMM), revitalisasi kawasan Braga tidak dapat dilakukan secara parsial. Proses penghidupan kembali Braga memerlukan konsep integral yang melibatkan keseluruhan kawasan, tanpa menghilangkan gaya arsitektur kuno bangunan-bangunannya.
“Jadi, proses revitalisasi Jalan Braga tidak bisa dilakukan dengan renovasi bangunan sendiri-sendiri, melainkan harus lewat konsep kawasan,” kata Harry.
Keterlibatan pengembang, dalam hal ini PT BMM, diyakini akan dapat menghidupkan kembali kawasan bersejarah Braga. Harapan itu, menurut Harry, cukup beralasan karena keberadaan sebuah bangunan dengan 18 lantai yang dilengkapi menara akan menarik banyak pengunjung. Dengan demikian, bangunan-bangunan mati di sepanjang Jalan Braga akan hidup kembali dengan sendirinya.
Namun, proses revitalisasi itu bergantung pada mekanisme pasar. Maksudnya, keterlibatan pengembang hanya sampai pada menyediakan “gula bagi semut”. Begitu BCW dibangun, para pemilik modal diharapkan secara otomatis akan mau berinvestasi di Jalan Braga.
Akan tetapi, pemilik toko kerajinan tangan di Jalan Braga yang sekaligus Ketua Paguyuban Braga, David B Soediono, justru khawatir. Pembangunan BCW, katanya, berpotensi mematikan toko-toko di sepanjang jalan itu.
“Memang pihak pengembang mengatakan, kalau kami akan saling menguntungkan, menjadi komplementerlah. Tetapi, siapa yang bisa menjamin itu untuk seterusnya. Jadi, pemerintah yang harus turut terlibat agar toko-toko di sini tidak mati,” kata David yang telah tinggal di Jalan Braga sejak 39 tahun silam.
Oleh karena itu, Paguyuban Braga akan menolak keras rencana pembangunan BCW kalau lahan parkir pertokoan dikurangi. Hal itu berkaitan dengan rencana pelebaran trotoar Jalan Braga yang pada akhirnya mempersempit jalan aspal yang selama ini menjadi tempat parkir pengunjung.
“Walaupun pengembang menyediakan tempat parkir, tetapi kita tahu karakter pembeli Indonesia. Mereka akan malas berjalan jauh ke pertokoan Jalan Braga. Kalau itu terjadi, toko akan mati perlahan-lahan,” ujar David.
Hingga kini pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan BCW masih dalam proses dan diperkirakan akan selesai satu hingga dua bulan mendatang. Sementara itu, peletakan batu pertama direncanakan pada bulan Juni 2004.
PEMBANGUNAN BCW ini juga menuai kecaman dari para pemerhati dan pelestari budaya. BCW yang terdiri atas hotel, apartemen, dan pertokoan ritel ini dianggap akan semakin merusak citra Jalan Braga sebagai daerah konservasi budaya.
“Maksud dan tujuan pembangunan BCW baik, tetapi harus dilihat faktor- faktor lain yang dapat membangkitkan gairah perdagangan di sana,” kata Ketua Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage) Harastoeti DH.
Menurut dia, BCW seharusnya hanya dikembangkan sebagai apartemen dan hotel tanpa membangun pertokoan ritel. Lebih baik, para penghuni apartemen dan hotel berbelanja di Jalan Braga sehingga toko yang telah ada dapat kembali hidup. Pembangunan pusat perbelanjaan di BCW dikhawatirkan akan semakin mengurangi intensitas dan jumlah perdagangan di toko-toko yang telah ada.
Secara estetik, pembangunan apartemen dan hotel yang tinggi ini dikhawatirkan akan merusak karakter bangunan yang telah ada. Selama ini ciri bangunan di Jalan Braga adalah bangunan rendah. Pembangunan BCW harus dikompromikan dan mampu bersandingan dengan bangunan-bangunan bersejarah yang telah ada.
“Kami tidak antipembangunan, tetapi jangan sampai pembangunan bangunan baru merusak bangunan yang telah ada. Pembangunan harus dilakukan secara kontekstual sehingga mampu meningkatkan kualitas kota,” kata Harastoeti.
RENCANA pembangunan BCW tidak hanya mengundang reaksi dari para pemilik toko, tetapi juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Yanti (37), warga RT 06 RW 04, menuturkan kegelisahannya sehubungan dengan akan berdirinya gedung pertokoan yang merangkap hotel dan apartemen setinggi 18 lantai itu.
“Kami, warga yang rumahnya langsung berbatasan dengan gedung, tentu akan terganggu. Karena, rumah kami akan tertutup bayangan sehingga tidak mendapat sinar Matahari. Kan itu enggak bagus untuk kesehatan, apalagi untuk anak- anak,” katanya.
Begitu pula yang dikatakan Haji Ahri Solehudin (62), seorang tokoh masyarakat. Ia mengeluhkan tidak adanya pihak pengembang yang bersedia berdialog dengan warga. Padahal, menurut dia, baru membangun sumur untuk proyek saja sudah cukup bising hingga mengganggu ketenteraman warga.
Pihak pengembang sudah mematok bahwa pembangunan Braga Citywalk akan diselesaikan sebagian bertepatan dengan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, Mei 2005. Sisanya baru akan selesai pada akhir tahun yang sama.
Namun, Sekretaris Kota Bandung Maman Suparman menyatakan, hingga saat ini masalah pembangunan BCW masih dalam penggodokan Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah di bawah koordinasi Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kota Bandung. Beberapa hal yang masih dikaji di antaranya menyangkut masalah perizinan serta analisis mengenai dampak lingkungannya. (K11/k12)
Sumber: Kompas, Kamis, 06 Mei 2004
Baca juga:
0 comments:
Posting Komentar