Sampai di sini, tidak kurang dari Ketua Umum INCCA (Indonesian Congress and Convention Association), Iqbal Alan Abdullah sendiri mengakui bahwa Indonesia masih memiliki banyak ketertinggalan sehingga terlepas dari sudah sejauh mana upaya yang dilakukan oleh semua pihak terkait, paling tidak selama 6 tahun belakangan ini, aktifitas MICE berskala internasional di negara kita masih berada di urutan ke delapan di bandingkan dengan negara-negara yang disebutkan tadi (*).
Negara | 2003 | 2004 | 2005 | 2006 | 2007 | 2008 | |
1 | Jepang | 189 | 180 | 197 | 194 | 215 | 247 |
2 | China | 76 | 202 | 203 | 189 | 195 | 223 |
3 | Australia | 163 | 179 | 184 | 200 | 194 | 182 |
4 | Singapore | 85 | 132 | 124 | 141 | 120 | 169 |
5 | Malaysia | 64 | 86 | 58 | 97 | 92 | 87 |
6 | Thailand | 91 | 101 | 93 | 84 | 92 | 95 |
7 | Hongkong | 41 | 89 | 98 | 66 | 72 | 66 |
8 | Indonesia | 24 | 26 | 38 | 31 | 36 | 33 |
9 | Philippines | 34 | 23 | 30 | 38 | 26 | 35 |
10 | Vietnam | 16 | 19 | 25 | 19 | 26 | 22 |
11 | Macao | 5 | 2 | 6 | 12 | 11 | 16 |
Melalui Direktorat MICE Deparsenibud, Pemerintah telah menetapkan kota-kota tujuan MICE di Indonesia yakni Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Balikpapan, Medan, Batam-Bintan, Padang-Bukittinggi, Makassar, Manado, Palembang, Mataram, dan Bandung. Meskipun sebagai warga Bandung hal itu terdengar menyenangkan, namun tidak banyak dari kita yang menyadari bahwa 3 kota yang disebut belakangan baru masuk dalam daftar ini terhitung sejak April 2009 lalu. Artinya, Pemerintah sendiri menganggap kesiapan Bandung untuk dijadikan kota MICE masih tertinggal dibanding 10 kota yang disebut duluan. Padahal bila ditilik dari sejarah perkembangan MICE Indonesia, sesunguhnya Bandung termasuk kota pertama yang berhasil menyelenggarakan event berskala Internasional sejenis ini melalui Konferensi Asia Afrika di tahun 1955!
Bandung dikenal aman dan hampir bebas dari berbagai isu menyangkut keamanan publik. Jumlah kamar dari 251 berbagai kelas hotel yang tersedia saat ini sudah mencapai 10.430. Bahkan pada tahun 2010 nanti diperkirakan akan terpenuhi sebanyak 13.805 - dari kebutuhan sebanyak 15.000 - dengan rata-rata pilihan harga kamar yang relatif terjangkau. Akses menuju Bandung, terutama dari Jakarta, sudah demikian baik. Dengan menggunakan jalan Tol Cipularang misalnya, hanya dibutuhkan waktu berkendaraan sekitar 2 sampai maksimum 3 jam saja. Adapun pesona wisatanya sendiri sudah tidak perlu dipertanyakan lagi terutama keindahan alamnya, kultur masyarakatnya, wisata kulinernya, keunikan fashion-nya, dll, yang bahkan sejak jaman Belanda dulu sudah menjadi magnit sangat kuat untuk menarik wisatawan dari berbagai daerah termasuk dari Eropa. Karenanya tidak heran bila nickname Parijs Van Java terus melekat padanya sejak jaman baheula hingga saat ini.
Sementara itu mantan Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandung, Drs. M. Askari Wirantaatmadja mengatakan bahwa rata-rata kedatangan wisatawan - nusantara dan mancanegara - ke Bandung sudah mencapai 21.000 orang per-hari, dan jumlah itu bisa meningkat hingga 61.000 orang pada akhir pekan dan hari-hari libur nasional (pada umumnya didominasi oleh wisatawan nusantara). Disebutkan juga bahwa dari total 7,5 s/d 10 juta wisatawan yang tecatat berkunjung ke Bandung per-tahun, hanya sekitar 2,5 juta saja yang tertampung untuk menginap. Itu pun dengan length of stay (rata-rata lama menginap) kurang dari 1,7 malam per-orang.
Jika rata-rata pengeluaran setiap wisatawan ini diperkirakan sebesar Rp. 200.000 per-hari saja, tentu dapat kita bayangkan sendiri berapa besar sesungguhnya potensi PAD yang “urung terserap” dari ketidaksiapan kota Bandung untuk mengakomodir seluruh wisatawan ini.
Kendati demikian, dengan mengedepankan pertimbangan dan perhitungan-perhitungan perencanaan dan tata ruang kota Bandung sendiri, upaya ke arah penambahan jumlah kamar hotel secara masif, atau dengan kata lain membangun hotel-hotel baru secara besar-besaran, tentu saja dapat berdampak pada timbulnya masalah-masalah lingkungan yang tidak sederhana. Lihat saja apa jadinya sekarang dengan penumpukan pengunjung - terutama pada hari-hari libur - yang selalu memadati hampir semua ruas jalan-jalan kota Bandung. Hal ini sudah menjadi masalah sangat serius, namun hingga kini belum juga ada tanda-tanda akan terselesaikan.
Dengan demikian sebetulnya sekarang ini sudah tiba waktunya, terutama bagi Pemerintah Daerah dan seluruh komponen terkait untuk kommit dan dengan sungguh-sungguh membangun sekaligus menumbuh-kembangkan bisnis MICE Jawa Barat melalui seluruh potensi yang dimiliki oleh kota Bandung dan sekitarnya.
Mesin Uang Bernama MICE
Tidak banyak dari kita yang menyadari betapa besar sesungguhnya kemampuan bisnis ini mencetak uang. Usmar Salam, akademisi Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) dalam presentasinya tentang MICE pada Sumatera International Travel Fair (SITF) 2009 di Hotel Pangeran Beach, Padang, Juni lalu menyebutkan bahwa jumlah uang yang mengalir dari bisnis ini bisa mencapai 40 kali lipat lebih besar daripada leisure tourism. Usmar menganalogikannya dalam bentuk kunjungan seorang kepala negara. Jika seorang kepala negara bepergian ke luar negeri, akan ada ratusan orang yang ikut bersama rombongannya, dan secara ekonomis tentu saja ini memberikan efek positif bagi negara tujuan.
Sebagai contoh, ketika Hillary Clinton berkunjung ke Indonesia, Usmar mengamati ternyata ada sekitar 2.000 orang yang menyertainya. Menururtnya ini baru satu orang pejabat penting. Lalu, bagaimana jika ada ratusan orang penting yang berkunjung dan menginap di Bandung selama seminggu misalnya?
Leisure tourism dan MICE
Secara sederhana leisure tourism dapat diartikan sebagai perjalanan wisata untuk bersenang-senang atau singkatnya perjalanan liburan. Di Indonesia sendiri waktu terpendek yang dihabiskan wisatawan mancanegara untuk berlibur rata-rata adalah selama 7 hari sedangkan waktu terlama rata-rata adalah selama 29 hari. Dan untuk yang disebut belakangan ini biasanya mereka lakukan dengan secara teratur berpindah-pindah dari satu kota tujuan wisata ke kota tujuan wisata lainnya. Paket perjalanan wisata jenis ini popular dengan sebutan overland tour, seperti 10 Days Jawa-Bali Overland misalnya. Yakni suatu rangkaian perjalanan wisata yang dilakukan melalui darat - dengan kendaraan wisata dan pemandu wisata khusus - dari Jakarta menuju Bali melaui kota-kota seperti Bogor, Bandung, Baturaden, Wonosobo, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Bromo, Banyuwangi, dan berakhir di Bali. Di kota-kota yang tidak dapat dinikmati sambil meneruskan perjalanan biasanya mereka akan menginap antara 1, 2 sampai 3 malam hingga akhirnya tiba di Bali, di mana kemudian mereka akan menghabiskan sisa waktu liburannya sebelum kembali ke negara asalnya masing-masing.
Di luar tiket penerbangan, biaya pribadi dan extend stay di Bali, guna dapat mengikuti paket overland ini biasanya para wisatawan membayar kepada perusahaan perjalanan antara US$. 700 s/d US$. 1.000 per-orang. Jika mereka menginap di Bandung selama 2 malam dan kita berasumsi biaya perjalanan per-orang adalah US$. 100 per-hari (US$. 1.000 untuk 10 hari perjalanan), maka terlepas berapapun banyaknya wisatawan mancanegara yang sempat singgah dan menginap di Bandung, total share yang diperoleh Bandung dari penyelenggaraan paket leisure tourism ini hanya US$. 200 per-orang. Sedangkan sisanya masih harus dibagi sebagai “pendapatan daerah” untuk kota-kota berikutnya. Karenanya, katakanlah dari 2,5 juta wisatawan yang tertampung untuk menginap di Bandung tadi separuhnya terdiri dari wisatawan mancanegara. Maka potensi pendapatan dari wisatawan mancanegara ini dalam setahun kurang lebih hanya sebesar 2,5 juta wisatawan x 50% x US$. 200, atau sama dengan US$. 250.000.
Bandingkan dengan penyelenggaraan MICE. Di luar tiiket pesawat dan belanja pribadi, biasanya rata-rata biaya paket MICE berskala Internasional untuk 4 atau 5 hari penyelenggaraan bisa mencapai US$. 1.500 s/d US$. 2.500 per-orang. Dan jika penyelenggaraan ini dilangsungkan di Bandung misalnya, berbeda dengan leisure tourism yang harus mendistribusikan expenditure-nya di kota-kota yang dilalui, maka untuk MICE hampir seluruh penerimaan itu akan sepenuhnya menjadi total share bagi kota Bandung sendiri!
Bayangkan bila Bandung memiliki fasilitas penyelenggaraan MICE yang memadai sehingga mampu mengakomodir 2.000 s/d 5.000 orang untuk sekali event Internasional. Maka dalam kurun waktu 4 s/d 5 hari saja, setidaknya akan terdistribusi dana di seputar kota Bandung sekitar US$. 1.500 x 2.000 peserta, atau sama dengan US$. 3.000.000. Bayangkan juga jika kejadian serupa berulang cukup 3 kali dalam setahun, berapa besar kira-kira dana yang dapat disumbangkan untuk PAD?
Oleh: Deni Drimawan., SE, MM, CQM
8 comments:
Pak Deni,
Teruskan perjuangan! Menurut saya hitung-hitungannya sudah betul, sehingga kalau Pemerintah tidak juga tergerak untuk serius membangun industri MICE di Jawa barat, ingatkan lagi. Sudah berapa banyak sebenarnya potensi PAD yang "terbang" begitu saja di depan hidung kita sejak bertahun-tahun dulu? Coba kita sudah memiliki Convention Hall (berikut seluruh komponen pendudkunga) seperti kota-kota lain yang sudah dinyatakan sebagai kota MICE oleh Pemerintah sejak 5 tahun lalu?
Setuju pak Deny.
Kalau saja di Bandung terdapat venue yang memadai apalagi yang berstandar internasional sudah dipastikan akan memberikan muliplier effect yang besar.
Saya sebagai insan pariwisata berharap semoga Bandung dapat segera memiliki venue yang ga ecek - ecek, yang mampu menunjang aktivitas MICE. Yang bukan sekedar rencana pemerintah saja.
salam kenal pa deni . saya indah dari mbk 07 - stpb .. menurut saya bandung sudah pas untuk dijadikan salah satu kota tujuan mice . tapi masih kurang dalam penyediaan venue dan khusunya supplier untuk mendukung keberadaan bisnis ini .. saya berharap semua rencana pemerintah untuk menjadikan bandung sebagai tujuan mice akan terlaksana dan sehubungan dengan persaingan bebas yang sudah terjadi di dunia menjadikan negara ini dipandang sebagai salah satu negara yang memiliki potensi mice yang menjanjikan .
salam kenal pak deni..saya rendy dari MBK 6 menurut pemikiran dan pendapat saya Bandung harus memiliki beberapa venue yang kapabilitasnya memenuhi standar bisnis MICE apalagi sebagian besar para klient nya berasal dari ibu kota Jakarta yang menjalankan bisnis nya sambil berlibur di Bandung terima kasih...
Pak Nonki,
Maafkan baru sempat merespons komentarnya sekarang. Harap dimaklumi saja ya, sebab memang pada dasarnya saya tidak punya alasan untuk excuse :)
Perjuangan masih terus berlanjut Pak. Oleh karena itu jangan berhenti mendukung semua upaya agar cita-cita dan harapan kita bersama ini segera terwujud. Tentang hitung-hitungan, terima kasih jika sudah tidak ada koreksi lagi :)
Salam,
DD
Megi, Indah, dan Rendy; Salam kenal kembali.
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk menuliskan pendapat masing-masing di sini ya? Saya senang banyak orang muda yang tidak kalah kritis memandang "issue besar" ini dibandingkan dengan saya dan Pak Nonki, misalnya.
Saya sungguh berharap suatu hari nanti kita (bersama teman-teman yang lain) dapat duduk bersama dalam rangka menyusun sebuah proposal besar atau sebut saja Master Plan tentang pengembangan bisnis MICE di Bandung yang benar-benar komprehensif untuk disampaikan kepada Pemerintah Daerah agar harapan kita semua mewujudkan Bandung sebagai kota tujuan MICE tidak hanya menjadi slogan kosong belaka. Bagaimana?
Salam,
DD
Posting Komentar