Pakar menyatakan ekonomi Indonesia pada 2010 akan lebih baik dibanding tahun ini, politik akan adem ayem, sementara di sektor pariwisata muncul tren-tren baru.
Tahun 2010 telah di depan mata. Sebagaimana lazimnya, perusahaan-perusahaan‚ termasuk pelaku industri jasa Pertemuan, Insentif, dan Pameran di Tanah Air‚Äîmulai merancang bisnis di tahun depan. Untuk itu, dibutuhkan data tren bisnis serta ramalan kondisi di tahun mendatang. Dengan demikian, perusahaan lebih mudah menetapkan asumsi dalam menyusun strategi, menetapkan target, serta merancang anggaran.
Untuk membantu pelaku industri meeting, incentive, convention, dan exhibition (MICE), majalah VENUE menyelenggarakan MICE Outlook 2010. Pada intinya, kegiatan ini menampilkan para pakar yang memaparkan, secara umum, kondisi ekonomi, politik, pariwisata, dan MICE di tahun depan. Kegiatan ini diselenggarakan pada 19 November 2009 lalu di Hotel Borobudur, Jakarta, berkerja sama dengan Direktorat MICE dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (Depbudpar). Selain itu, pada kesempatan tersebut majalah ini juga mengadakan penganugerahan Indonesia MICE Award 2009. Ajang ini merupakan sarana bench-marking praktik terbaik di industri MICE Indonesia.
Sesi pertama MICE Outlook, yang dibuka Sapta Nirwandar (Direktur Jenderal Pemasaran Depbudpar), menampilkan Tony Prasetyantono (Chief Economist BNI 46), Firmanzah (Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia), dan Alistair G. Speirs (Pendiri Phoenix Communications dan Pemimpin Redaksi Jakarta Now). Mereka memberikan gambaran tentang kondisi ekonomi, politik, dan pariwisata pada 2010. Tony membuka pemaparan dengan analisis bahwa krisis ekonomi global telah mencapai titik terendah dan langsung memasuki masa-masa pemulihan. Krisis 2008-2009 berbeda dengan “Great Depression” yang melanda dunia pada akhir 1920-1930-an. Ketika itu, kondisi depresi berlangsung lama, sejak 1929, dan baru mulai pulih pada 1936. Sekarang ini, dunia memasuki masa recovery dengan relatif sangat cepat.
Indonesia sendiri tak terlalu terpengaruh krisis finansial global. Ini berkat pasar domestik yang kuat. Kegiatan ekonomi masih tumbuh sekitar 4 persen. Tony kemudian memaparkan analisis beberapa media internasional terhadap masa depan Indonesia pascapemilihan umum. Majalah ekonomi terkemuka, The Economist, menyebut Indonesia sebagai “A Golden Chance”. Majalah Newsweek juga menurunkan berita sampul tentang ekspektasi besar terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Namun begitu, menurut Tony, optimisme terhadap Indonesia baru sebatas ekspektasi. Ini berbeda dengan Brazil, misalnya, yang telah disebut-sebut media internasional sebagai “Keajaiban Ekonomi Baru.” Jadi, tantangan Indonesia adalah mentransformasikan harapan menjadi kenyataan. Tony meramalkan, di tahun depan, kegiatan ekonomi Indonesia akan berkembang sebesar 5,5 persen. Sementara itu, harga barang-barang akan naik 5,5 persen pula. Nilai tukar rupiah akan berada di kisaran Rp 9.000 per dollar Amerika Serikat. Kucuran kredit dari perbankan akan naik 15 persen dibanding tahun ini.
Politik Era Facebook Melanjutkan optimisme di sektor ekonomi, Firmanzah mengemukakan bahwa politik Indonesia di tahun depan akan adem ayem. Kalaupun muncul gejolak semisal yang berkaitan dengan hak angket Bank Century, ia hanya berupa riak kecil. Kondisi baru akan memanas pada 2012 ketika elite politik bersiap menghadapi pemilihan legislatif dan presiden 2014. Dengan kenyataan bahwa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tak bisa maju lagi, para kontestan lain merasa peluang untuk berkuasa sama besar.
Firmanzah menekankan bahwa kondisi aman tenteram terutama ditopang sikap rakyat yang pragmatis, tak ideologis. Mereka tak bisa lagi didorong-dorong oleh kepentingan eliteelite politik. Permainan politik sendiri kini berubah dari mass mobilization ke image creation. Di sini, pelaku politik harus menyesuaikan diri dengan medan bertarung yang baru. Konsultan politik serta pembangun imaji mendapat peran penting.
Menurut studi, masyarakat menilai partai politik tidak berpengaruh. Padahal, mestinya, partai menjadi mesin demokrasi. Karenanya, partai harus menyesuaikan diri dengan politik di era jejaring dunia maya Facebook dan Twitter. “Kita tengah menyaksikan deelitisasi,” kata Firmanzah. Maksudnya, dinamika elite politik tak berpengaruh kepada masyarakat.
Oleh: Andrianto Soekarnen
0 comments:
Posting Komentar