Faktanya adalah semua kota (setidaknya ibukota provinsi) di Indonesia memiliki kelayakan untuk menggelar event MICE. Memang tergantung pada skala dan ukuran pertemuan itu. Tapi, rata-ratanya, dengan perkembangan yang agresif dalam bidang perhotelan dewasa ini, semua kota itu mulai dari Aceh hingga Merauke, bisa menggelar pertemuan 250-500 orang.
Sebaliknya, sebuah kota dengan variasi venue dan hotel yang lebih besar dan didukung oleh peralatan high tech untuk konferensi, tidak bisa juga mutlak-mutlakan disebut pasti akan menyelenggarakan lebih banyak event MICE. Bahwa kota ini lebih memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan kota lain, benar, tapi jika tidak diimbangi dengan pemenuhan faktor lain seperti pemasaran (dalam arti luas) dan lobi, juga tidak akan maksimal hasilnya.
Hal ini perlu dijelaskan untuk tidak mematahkan kota-kota lain di Indonesia yang sedang getol-getolnya membidik wisata MICE.
Menarik jika kita coba melihat apa yang terjadi dengan Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Kota ini sama sekali bukan termasuk ke dalam 10 destinasi wisata MICE Indonesia. Tapi soal agresifitasnya tidak perlu diragukan lagi. Sejak 2008, misalnya, kota ini telah menjadi tempat penyelenggaraan event pertemuan nasional maupun internasional, sebut saja tuan rumah Kongres XX PGRI pada Juli 2008 (2.000 orang), Muktamar IDI November (2.500 orang), Kongres Nasional Ikatan Istri Dokter Indonesia (IID) November 2009 (1.500 orang), Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) Februari 2010 (2.500 orang), menjadi tuan rumah Festival Keraton Nusantara VII pada September 2010 (1.000).
Kemudian tuan rumah Jambore Nasional Pramuka 2011 (5.000 orang) peserta dari dalam dan luar negeri, dan puncaknya di 2011 dimana Sumsel khususnya Palembang menjadi penyelenggaraan 10 lebih cabang Olahraga dengan 2.500 atlit Sea Games. Selain itu, kota ini juga pernah menjadi tuan rumah sejumlah pertemuan internasional, misalnya Sidang ASEANAir Transport Working Group ke-15, yang diikuti 10 utusan negara ASEAN plus Amerika dan Uni Eropa.
Sekali lagi, Palembang ini menarik karena tidak masuk hitungan pihak Kemenbudpar, yang sebelumnya sudah menggagas 10 destinasi wisata MICE Indonesia yakni: Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Balikpapan, Medan, Batam-Bintan, Padang-Bukittinggi, Makassar, dan Manado. Saya tidak ingin memuji, tapi aspek kepemimpinan di daerah memang sangat berpengaruh terhadap kinerja industri ini bergerak atau mati. Tidak banyak pemimpin daerah yang melihat nilai tambah MICE bagi daerahnya (misalnya terhadap perkembangan sektor investasi, perdagangan, promosi daerah, perbaikan fasilitas publik, usaha kecil dan menengah dan seterusnya); sebaliknya jika pun ada, mereka mungkin tidak cukup cerdas untuk memainkan strategi untuk membawa event MICE itu ke daerah mereka.
Bagaimana seharusnya lobi itu dijalankan?
Pasar MICE itu adalah organisasi (asosiasi), entah itu pemerintah (IGO’s), swasta (Corporates), dan non-pemerintah (NGO’s). Semua punya potensi. Pasar corporates itu memang kecil-kecil (pesertanya) tapi cukup sering mereka menggelar pertemuan. Keunggulan Singapura justru karena mampu membidik pasar ini, dan jika dikumpulkan jumlah wisatawan (pesertanya) bisa banyak juga per tahun.
Langkah pertama bagi daerah untuk mengembangkan MICE ini tentu saja harus berpijak dari pemahaman terhadap pasar ini: bagaimana karakteristiknya, bagaimana organisasinya, bagaimana pola pertemuan yang dimilikinya (berotasi atau bukan), siapa pemegang hak untuk menetapkan tuan rumah dan bagaimana mereka menetapkannya (apakah dengan bidding terbuka atau ditetapkan dalam rapat dewan eksekutif asosiasi/organisasi), dan lainnya.
Dengan demikian pemahaman organisasi/asosiasi ini sangat penting. Coba bayangkan, untuk asosiasi/organisasi kesehatan saja ada begitu banyak asosiasi-asosiasi turunan yang eksis secara internasional maupun nasional, misalnya ikatan dokter gigi, ahli bedah, ahli ginjal, asosiasi obat dan seterusnya. Begitu juga asosiasi/organisasi yang bersifat ekonomi, politik, ormas, dan lainnya. Kalau didata, akan ada ratusan bahkan ribuan asosiasi/organisasi.
[Dari Jones Sirait - Pusat Analisis Informasi Pariwisata]
0 comments:
Posting Komentar